Entri Populer

Senin, 31 Januari 2011

PENINGKATAN MUTU DOKTER

Untuk menjadi seorang dokter di Indonesia, maka seseorang harus menempuh pendidikan formal setelah SMU (Sekolah Menengah Umum, kelas 10,11,12) selama minimal 5,5 tahun. Waktu yang cukup lama untuk menempuh pendidikan formal dengan gelas S1 dokter. Namun demikian itulah kenyataannya, dimana seorang dokter, dalam bekerja akan bermain-main dengan kesehatan dan bahkan nyawa dari pasiennya. Sebagai akibatnya, banyak yang harus dipelajari, oleh karena manusia adalah mahkluk Tuhan yang paling kompleks. Dokter dapat dianalogikan sebagai mekanik mesin, namun perbedaannya seorang mekanik, memperbaiki mesinnya dalam keadaan mati, sedangkan seorang dokter harus mengobati pasiennya yang dalam keadaan mesin masih menyala. Bayangkan jika seorang mekanik harus memperbaiki mobil dalam keadaan mesin menyala?

Nah setelah dokter menempuh pendidikan formalnya, disinilah masalah bermunculan. Tidak banyak pasien yang berani menanyakan kepada dokternya: apa penyebab penyakit saya dokter?, apa pengobatan yang diberikan oleh dokter pasti akan menyembuhkan saya?, apalagi jika setelah mendapatkan jawaban apakah pasien berani menanyakan : apakah saya bisa mendapatkan bukti dari apa yang dokter jelaskan?. Apakah hal ini penting? Ya sangat penting.

Penelitian di seluruh dunia mengenai kesehatan sangat banyak, dan yang sudah dipublikasikan sampai saat ini bisa mencapai 55 penelitian setiap harinya. Coba anda pikirkan, apakah mungkin seorang dokter meng “update” pengetahuannya setiap hari dengan membaca 55 artikel tiap harinya? Nah dari 55 artikel yang mungkin dibaca tidak semuanya dapat diterapkan dalam praktek seorang dokter, pertanyaannya: apakah daokter mempunyai waktu untuk mengkaji, mana artikel yang penting dan mana yang tidak penting?.

Pada saat pendidikannya, dokter mempelajari ilmu kesehatan dari buku teks. Buku teks biasanya akan diterbitkan lima tahun sekali untuk mata kuliah yang sama, jadi apa yang menjadi acuan akan tertinggal antara 5 – 10 tahun. Bayangkan dalam 5-10 tahun, pasti banyak ilmu kesehatan yang telah berkembang dan ilmu yang lama sudah tidak digunakan lagi.

Nah sebagai jawabannya atas hal itu semua adalah Evidance based medicine (ilmu kedokteran berbasis bukti). Ilmu ini relative sangat baru, dan tidak banyak dokter yang menguasainya. Dalam ilmu ini akan diajarkan bagaimana seorang dokter dalam waktu kurang dari dua menit sudah mendapatkan jawaban dari apa yang tidak diketahuinya. Nah apakah dokter anda menguasai ilmu ini? Jika tidak, maka kemampuannya untuk mengobati pasien patut dipertanyakan.

Di zaman yang penuh dengan informasi ini, seorang dokter akan dibanjiri oleh berbagai macam informasi kesehatan, baik yang penting dan yang menyesatkan, maka diperlukan kemampuan dalam memilah-milahnya. Banyak pengobatan yang dilakukan oleh seorang dokter saat ini berlebihan (memboroskan uang pasien) atau bahkan lebih rendah dari yang seharusnya (merugikan kesehatan pasien). Hal ini dikarenakan oleh karena seorang dokter tidak menguasai ilmu kedokteran berbasis bukti.

Apakah anda mengira, bahwa dengan meminum obat yang telah sesuai dengan penyakit anda, anda pasti akan sembuh? Jika anda menjawab ya, maka anda membuat kesalahan besar. Dalam dunia kedokteran semuanya adalah kemungkinan, namun yang dijadikan acuan dalam pengobatan adalah yang kemungkinan penyembuhannya paling besar. Nah angka 95% merupakan angka yang cukup besar dalam hal pengobatan. Ini berarti jika ada 100 orang penderita diterapi maka ada 5 yang tidak sembuh. Jika salah satu dari 5 pasien ini adalah anda, apa yang anda rasakan?

Nah dalam ilmu kedokteran berbasis bukti, seorang dokter akan memaparkan kemungkinan kesembuhan anda jika anda menjalani pengobatan A atau pengobatan B. Disaat yang sama, anda juga akan dijelaskan risiko yang harus anda terima dalam menjalani pengobatan A atau pengobatan B. Disini, anda akan diajak untuk ikut dalam mengambil keputusan, yang bukan semata-mata atas perintah dokter. Dokter juga manusia yang tidak luput dari kesalahan, dan yang menjadi objek adalah tubuh anda, jadi jika anda tidak dilibatkan, maka saya rasa tidak adil bagi anda. Apakah anda yakin anda tidak dijadikan objek percobaan?

Contoh kasus:
Suatu saat ada seorang penderita yang tergigit oleh anjing liar yang dia tidak tahu siapa pemiliknya. Dengan segera ia pergi ke dokter untuk mendapatkan perawatan dari apa yang dialaminya. Kemudian pasien bertanya apakah ia akan mendapatkan antibiotik untuk mencegah infeksi? Sang dokter menjawab: risiko infeksi untuk kasus seperti ini adalah 14% (dalam 100 pasien ada 14 yang infeksi), dan antibiotik akan menurunkan risikonya menjadi 50% (artinya risiko infeksi menjadi 7% jika pasien mendapatkan antibiotik). Nah keputusan untuk mendapatkan antibiotik (yang harganya cukup mahal) dan tidak akan diserahkan kepada pasien itu sendiri. Akhirnya pasien memutuskan untuk tidak menggunakan antibiotik dan ternyata ia sembuh tanpa infeksi.

Pertanyaannya: apakah dokter anda ada yang melakukan praktek kedokteran yang seperti ini? Jika anda balik bertanya kepada saya, saya baru saja memulainya.

4 komentar: